Beranda | Artikel
Berbagi Pengalaman kepada Anak
2 hari lalu

Berbagi Pengalaman kepada Anak ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 21 Jumadil Akhir 1446 H / 23 Desember 2024 M.

Kajian Tentang Berbagi Pengalaman kepada Anak

Buktinya, anak-anak lebih sering mendengar nasihat dari orang lain daripada dari orang tuanya sendiri. Banyak orang tua yang tidak lagi akrab dengan anak-anaknya, bahkan pada momen-momen yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun kehangatan, seperti saat makan pagi, siang, atau malam.

Sayangnya, momen-momen tersebut justru menjadi dingin tanpa interaksi antara suami dan istri, atau antara orang tua dan anak. Setiap anggota keluarga sibuk dengan gawai masing-masing. Sang ayah memegang HP, ibu memegang HP, bahkan anak-anak pun sibuk dengan HP mereka. Tidak ada obrolan, tidak ada canda tawa. Kalaupun ada tawa, itu karena melihat konten di HP, bukan karena mendengar cerita atau bercengkerama dengan keluarga.

Inilah realita yang ada. Padahal, keakraban antara orang tua dan anak sangat penting. Kedekatan hubungan antara ayah, ibu, dan anak-anak adalah salah satu kunci sukses dalam mendidik mereka.

Mengapa demikian? Karena ketika orang tua sudah dekat dengan anaknya, mereka akan lebih mudah menyampaikan nasihat. Sebaliknya, anak-anak pun akan lebih mudah menerima nasihat dari orang tua. Kedekatan ini menciptakan ruang yang kondusif untuk komunikasi, sehingga proses pendidikan menjadi lebih efektif.

Jika boleh diumpamakan, hubungan antara orang tua dan anak itu seperti pintu rumah. Pintu yang terbuka lebar ibarat keakraban dan kedekatan, sedangkan pintu yang terkunci rapat adalah kerenggangan hubungan. Lebih mudah mana, masuk ke rumah yang pintunya sudah terbuka atau yang terkunci rapat? Tentu saja lebih mudah masuk ke rumah yang pintunya terbuka lebar.

Ketika orang tua sudah akrab dan dekat dengan anaknya, itu seperti pintu rumah yang sudah terbuka. Untuk masuk, tinggal melangkah masuk saja. Sebaliknya, ketidakakraban atau kerenggangan hubungan antara orang tua dan anak itu seperti rumah yang pintunya tertutup rapat, bahkan terkunci.

Cobalah perhatikan teladan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau adalah sosok yang sangat akrab dan dekat dengan anak-anak. Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang yang memiliki kewibawaan luar biasa. Namun, kewibawaan itu tidak pernah menghalangi beliau untuk dekat dengan anak-anak.

Bapak-bapak, Anda mungkin di luar rumah adalah seorang jenderal berbintang empat, pemimpin perusahaan besar, rektor yang disegani oleh puluhan ribu mahasiswa, atau seorang ulama kondang yang dihormati banyak orang. Namun, ketika Anda pulang ke rumah, tinggalkan semua label itu. Di rumah, Anda adalah seorang ayah bagi anak-anak Anda.

Jadilah seorang ayah yang penuh kasih, akrab, dan dekat dengan mereka, sebagaimana Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi contoh. Dengan begitu, hubungan antara orang tua dan anak akan menjadi seperti pintu yang terbuka lebar, memudahkan nasihat dan komunikasi untuk diterima dengan baik.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah seorang Nabi yang memiliki banyak peran. Di medan perang, beliau adalah panglima. Di masjid, beliau menjadi imam. Ketika ada orang berselisih, beliau bertindak sebagai hakim. Namun, saat bertemu dengan anak-anak, beliau menjadi seorang ayah yang sangat hangat dan penuh kasih sayang.

Mari kita lihat apa yang dituturkan oleh Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata:

إِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُخَالِطُنَا

“Sungguh, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam biasa berinteraksi dengan penuh kedekatan dan keakraban bersama kami (anak-anak).” (HR. Bukhari)

Anas bin Malik adalah sahabat sekaligus pembantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dari kesaksiannya, kita mengetahui bahwa Nabi sangat akrab dengan anak-anak. Mereka tidak merasa takut saat bertemu beliau. Sebaliknya, mereka justru senang mendekat, bahkan bergelayut pada beliau sambil bercanda.

Bagaimana dengan kita? Apakah anak-anak kita merasa nyaman dan dekat seperti itu dengan ayah mereka? Atau justru sebaliknya, merasa takut dan menjaga jarak?

Salah satu alasan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam begitu dicintai anak-anak adalah karena beliau sering menceritakan kisah-kisah, baik kepada para sahabat maupun kepada anak-anak kecil. Salah satu kisah yang sering beliau sampaikan adalah pengalaman pribadinya, mulai dari masa kecil hingga ketika beliau dewasa.

Ketika anak-anak mendengar cerita seperti itu, mereka merasa senang dan terhibur. Bahkan orang dewasa pun senang mendengar cerita, apalagi anak-anak. Inilah salah satu cara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mendekatkan diri kepada mereka, sehingga hubungan yang hangat dan akrab terjalin.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan dinilai sahih oleh Imam Adh-Dhiya Al-Maqdisi, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita:

شَهِدْتُ حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ مَعَ عُمُومَتِي وَأَنَا غُلَامٌ

“Aku pernah menghadiri perjanjian Al-Mutayyibin bersama paman-pamanku saat aku masih kecil.”

Apa itu Perjanjian Al-Mutayyibin? Perjanjian ini adalah sebuah kesepakatan yang diadakan oleh suku-suku Quraisy untuk membela orang-orang yang tertindas dan teraniaya. Perjanjian ini muncul karena para pemimpin yang bijaksana di antara mereka melihat banyaknya orang yang menderita tanpa pembelaan. Ada yang tidak peduli karena sikap acuh tak acuh, sementara sebagian lainnya takut untuk menolong karena khawatir terkena dampaknya.

Para tokoh Quraisy berpikir bahwa tidak bisa membiarkan ini terus terjadi. Jika kita bersatu, mereka akan menjadi lebih kuat, seperti lidi-lidi yang dikumpulkan menjadi sapu. Jika satu lidi dipatahkan, mudah, tetapi jika sudah menjadi sapu, itu sulit dipatahkan. Maka, mereka sepakat untuk bersama-sama membela orang-orang yang tertindas.

Kenapa dinamakan Al-Mutayyibin? Nama ini berasal dari kata thib (طِيب) yang berarti minyak wangi. Masing-masing suku membawa minyak wangi dan menuangkannya ke dalam satu wadah. Setelah itu, mereka yang hadir mengoleskan minyak wangi gabungan tersebut sebagai simbol persatuan. Minyak wangi dipilih karena melambangkan sesuatu yang baik dan mulia, berbeda dengan perjanjian untuk tujuan buruk, seperti membunuh, yang simbolnya sering menggunakan darah.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan ceritanya:

فَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ، وَأَنِّي أَنْكُثُهُ

“Dan aku tidak akan pernah melanggar perjanjian tersebut, walaupun aku diberi imbalan berupa unta merah sekalipun.”

Unta merah pada masa itu adalah harta yang sangat berharga, setara dengan kendaraan mewah di zaman sekarang. Meski ditawarkan harta melimpah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetap teguh pada janjinya. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya komitmen dalam membela kebenaran dan orang-orang yang lemah.

Pada kesempatan lain, dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan pengalaman beliau menggembalakan kambing. Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bercerita:

مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ

“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali dia pernah menggembala kambing.” (HR. Bukhari)

Semua nabi, mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, pernah menggembala kambing. Para sahabat penasaran dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah engkau juga pernah menggembala kambing?” Rasulullah menjawab:

نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلى قَرارِيطَ لأَهْلِ مَكَّةَ

“Iya, dulu ketika kecil, aku pernah menggembala kambing milik penduduk Mekah dengan upah beberapa qirat (artinya upah yang sedikit).”

Pengalaman menggembala kambing ini menunjukkan kesederhanaan dan kerja keras Rasulullah sejak kecil. Sebagai orang tua, kita bisa meneladani Rasulullah dengan menjalin keakraban bersama anak melalui cerita dan kisah inspiratif seperti ini.

Namun, anak-anak zaman sekarang yang dikenal sebagai generasi Alfa memiliki ciri khas berpikir kritis. Mereka sering bertanya sebelum melakukan sesuatu, berbeda dengan generasi sebelumnya yang cenderung langsung menjalankan perintah tanpa banyak bertanya. Hal ini memiliki sisi positif, yaitu anak menjadi lebih memahami alasan di balik suatu perintah, tetapi juga bisa menjadi tantangan jika respon mereka dianggap tidak menghargai nasihat.

Misalnya, ketika orang tua menceritakan pengalaman masa lalu, anak mungkin merespon dengan, “Itu kan dulu, sekarang berbeda.” Respon seperti ini bisa memicu rasa frustrasi pada orang tua. Untuk menghindari hal tersebut, penting bagi orang tua untuk menyampaikan cerita dengan cara yang relevan dan menarik, sehingga anak bisa memahami hikmah di balik pengalaman tersebut tanpa merasa terputus dengan konteks zaman mereka.

Empat Cara Menyampaikan Cerita Pengalaman kepada Anak

Saat menyampaikan pengalaman kepada anak, penting untuk menggunakan pendekatan relevan agar cerita lebih menarik dan bermanfaat. Berikut empat poin yang perlu diperhatikan:

1. Kaitkan dengan Kondisi Kekinian

Cerita dari masa lalu akan lebih menarik jika dihubungkan dengan realita hari ini. Misalnya, dulu untuk mengabarkan sesuatu, kita mengirim surat yang baru sampai setelah seminggu. Bandingkan dengan sekarang, di mana kita bisa langsung menelepon melalui ponsel dari mana saja. Atau saat dulu menelepon harus ke wartel (warung telekomunikasi) dan mengantre, sedangkan kini cukup dari rumah tanpa hambatan. Mengaitkan cerita dengan teknologi atau kebiasaan saat ini membantu anak memahami perubahan zaman.

2. Fokus pada Nilai, Bukan Sekadar Peristiwa

Cerita bukan hanya sekadar detail kejadian, tetapi harus menyampaikan nilai yang dapat dipelajari. Misalnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menceritakan pengalaman beliau menghadiri perjanjian Al-Mutayyibin untuk menegaskan keteguhan memegang janji. Dalam cerita lokal, keberanian seseorang membuktikan suara seperti bayi menangis di pinggir sungai yang ternyata hanya gesekan pohon bambu bisa menjadi pelajaran tentang nilai keberanian.

3. Berikan Ruang untuk Diskusi

Libatkan anak dalam cerita dengan mengajukan pertanyaan atau meminta pendapat mereka. Contohnya, tanyakan apa yang mereka lakukan jika ingin belajar di masa lalu tanpa internet. Jawaban seperti “bertanya kepada orang yang lebih tahu” atau “mencari di perpustakaan” melatih anak untuk berpikir kritis.

4. Jadikan Interaktif

Ajak anak merasakan pengalaman, bukan hanya mendengar. Contoh, ajarkan mereka membuat mainan tradisional seperti enggrang dari bambu atau mencari dan memarut kelapa untuk memasak santan. Dengan merasakan proses, anak akan lebih menghargai usaha di balik sesuatu, seperti menghargai makanan karena memahami perjuangan memasaknya.

Melalui pendekatan ini, cerita yang disampaikan akan lebih berkesan dan memberikan pelajaran berharga. Semoga bermanfaat!

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54817-berbagi-pengalaman-kepada-anak/